teatertalasmakassar

maju dan mundur adalah dua pilihan PASTI

SENIMAN ATAU SENEWEN
(MAMAN A. MAJID BINFAS)


Menjadi seniman seseorang tidak harus mengabaikan aspek normatif dalam mencurahkan segala sikap dan menyikapi sesuatu sebagai hasil pemikirannya, paling tidak bagaimana seseorang yang menggeluti dunia pengkajian seni (scince and arts movement) sedapat mungkin memahami "HAKIKAT" dari sesuatu yang akan digelutinya ktimbang mengedepankan "IMITASI" atau sekedar meniru mendengar kemudian melakonkannya.
Sebab tidak menutup kemungkinan manuver ekspeksi dari budaya-budaya konservatif barat dengan mudah menjangkiti budaya ketimuran kita sebagai orang Indonesia.
Ulumul Qur'an pun telah mengajarkan kita betapa hidup ini penuh sesat dengan kehadiran dari sentuhan seni, demikian pula Al Qur'an sendiri yang begitu kaya dengan estetiknya yang luar biasa sehingga manusia sehebat apa pun tidak ada yang mampu membuat tandingannya.

Tidak bisa dipungkiri banyak seniman yang sangat membanggakan "Idealismenya" dengan berperwakan ala sesuka hati tanpa memikirkan tentang "the end of act" dampak baik atau pun buruk dari apa yang ia lakonkan, pada hal tidak SEDIKIT juga seniman sekelas WS. Rendra, El Manik, Putu Wijaya, ibu Cristin Hakim, dan masih banyak yang lainnya justru melakonkan seni sebagai hasil prenungannya yang demikian panjang untuk kemaslahatan ummat. Walau sangat dipahami bahwa aplikasi ilmu seni tidak hanya dipakai di panggung, tetapi dalam ilmu pemerintahan juga sangat dibutuhkan, Ilmu ekonomi, Politik, kesehatan, arsitektur, sipil, matematik, dan disiplin ilmu yang lain seni sangat berpengaruh di sana.

Jadi tidak benar jika banyak kalangan beranggapan bahwa "Seni" itu yang "INI" kita harus memahami seni dengan menjadikan hakikat sebagai titik tolak pemikiran seni bukan berarti perpecahan, seni bukan sebagai biang eksploitasi sikap dan seni itu adalah hakikat Kebenaran, seni hadir menjadi ruh dari segala apa yang tampak di muka bumi, terlihat atau tidak. Seni merupakan cerminan perdamaian, hingga ada yang mempersoalkan Undang-undang pornografi sebagai langkah pemerintah melakukan interruption mau pun interfensi langsung terhadap duni kebebasan berekspresi. Justeru yang harus dipikirkan adalah spekulasi pemikiran orang-orang yang mau mencari keuntungan di balik apa yang sudah dikaji dan renungkan dalam waktu sangat panjang, kok malah dijadikan ajang aktualisasi diri "sensasi" karena ketidak lakuan.

Maman A. Majid Binfas mengupas tuntas hal tersebut di hadapan enam puluhan lebih calon anggota baru UKM Seni dan Budaya Talas Universitas Muhammadiyah Makassar yang sementara menempuh program magang sebelum resmi dikukuhkan sebagai anggota di lembaga ekstra kampus yang bergerak di bidang pengkajian seni dan budaya.
Pada acara yang bertajuk "SEJENAK SHARING" dengan "MAMAN A. MAJID BINFAS" dipandu langsung oleh Turaihan Ajehuri [Ketua Umum UKM Seni dan Budaya Talas Unismuh Makassar periode 2008-2010] memberikan penekanan "BERKESENIAN, DUNIA KAMPUS" semua boleh dilakukan hanya saja, jangan lupa mengedepankan tata krama "Shutle of Trust-nya" tetap harus diutamakan, menjadi seorang seniman tidak harus menjadi seorang "S'NeWEn" kapuji-pujian, Kabittikang, atau pun Taltalekang. konok-konokang, LoDis, sema itu dalam falsafah bugis-makassar dikenal sebagai salah satu sifat karakter manusia yang mengedepankan egoisme-arogansi yang sangat tinggi.

Lebih jauh Maman A. Majid Binfas juga mengulas tentang Vabel, Labelisme dan Simbolisme dalam dunia seni, dimana pada kebanyakan orang lebih mengedepankan gaya "style" ketimbang isi otak. Dengan sedikit tahu sudah berani dengan banyak tingkah. Padahal jika dipahami secara keilmuan seniman tidak harus tampil JOROK, URAKAN, atau pun membuat sikap orang BEREMPATI terhadap penampilannya.

>Maman A.Majid Binfas, pengurus Lembaga Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta, Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.



0 komentar: